Pada saat menulis
ini, saya akan memasuki semester 3 pendidikan master, jadi bisa dibilang sudah
banyak menikmati asam manisnya studi di jenjang ini. Jurusan yang saya tekuni masih
tetap Akuntansi, sama seperti selama 7 tahun yang telah berlalu. Setahun
setelah lulus S1, tepatnya pada tahun 2016 lalu, saya mendaftar di Magister
Sains Akuntansi Universitas Gadjah Mada dengan didanai beasiswa LPDP. Buat pengalaman lengkapnya ikut beasiswa ini,
teman-teman bisa cek di post-post
sebelumnya.
Mengapa saya
melanjutkan S2? Karena saya ingin menjadi dosen. Seperti yang kita ketahui
bahwa salah satu syarat menjadi dosen saat ini adalah pendidikan minimal S2. Tapi di samping itu, keputusan untuk menjalani
pendidikan yang lebih seru ini juga karena saya ingin tahu lebih banyak tentang
Akuntansi.
Sumber: http://conejovalleytutor.com |
Sekarang ini, sudah
tidak terhitung berapa jumlah pemuda di Indonesia yang menempuh pendidikan
master, baik karena ingin menjadi dosen seperti saya, maupun karena kebutuhan
pekerjaan yang sudah dijalani. Tidak dapat dipungkiri, memang terjadi peningkatan
kualifikasi di beberapa jenis pekerjaan sehingga menuntut seseorang untuk menempuh
studi master.
Bagi teman-teman
yang akan atau baru saja menjadi fresh graduate,
mungkin sebagian akan merasa dipusingkan dengan apakah sebaiknya langsung bekerja
atau melanjutkan studi ke tingkat
master. Sepertinya
tidak hanya yang fresh graduate, yang
saat ini sedang bekerja pun, pertimbangan ini mungkin juga muncul meskipun
hanya sekilas. Saya yakin, kadang keinginan untuk bekerja juga dibarengi
dengan keinginan untuk studi. Tapi apakah sebenarnya urgensi dari menempuh
studi master?
Okay, let me share my idea.
Setiap mengambil keputusan biasanya saya berpikir dulu, apa dan mengapa
harus begitu. Hidup hanya sekali dan pastinya harus dikurangi saja melakukan
sesuatu yang kurang bermanfaat. Tapi yang pasti, tidak ada yang salah dengan
menuntut ilmu, termasuk dengan menjalani S2, karena belajar dan berbagi ilmu adalah
salah satu dari amal yang tak terputus pahalanya. Jadi, mengambil S2 sudah
pasti keputusan yang tidak salah. Yang perlu kita masing-masing pahami sekali
lagi adalah urgensinya untuk kita saat ini.
Ada beberapa hal yang menurut saya penting untuk dipertimbangkan terkait
perlu tidaknya segera mengambil pendidikan master. Semoga bermanfaat ya.
1.
Diperlukan untuk bekerja atau tidak?
Pertimbangan ini
tentunya adalah pertimbangan yang paling basic
bagi kita semua. Sama halnya dengan perlu makan atau tidak yang bergantung
pada apakah kita sedang lapar. Intinya, mengambil S2 atau tidak bergantung pada
apa yang menjadi pekerjaan impian kita. Seperti yang saya alami, saya mengambil
S2 karena keinginan saya menjadi dosen. Di luar karena persyaratan wajibnya, tanpa
pendidikan S2 saya rasa pengetahuan dari S1 belum cukup untuk mengantarkan menjadi
dosen. Beberapa bidang pekerjaan lainnya tentunya ada juga yang memerlukan pendidikan
S2 dan ada juga yang tidak. Singkatnya, teman-teman akan cenderung mengambil S2
jika pekerjaan yang diinginkan memang mengharuskan demikian, baik secara
langsung maupun tidak.
Bagi banyak orang, bisa saja pekerjaan menjadi alasan untuk malas
belajar lagi. Bisa jadi karena sudah menerima hasil jerih payah dan merasa
tidak perlu lagi menempuh pendidikan lanjutan. Tapi ada beberapa pekerjaan yang
justru akan memberikan dorongan bagi karyawannya untuk melanjutkan studi. Beberapa
pekerjaan swasta memberikan insentif bagi mereka yang memiliki pendidikan lebih
tinggi. Terlebih untuk yang bekerja di pemerintahan atau BUMN, biasanya
melanjutkan studi sangat disarankan, bahkan menjadi tugas yang harus dijalani. Kesimpulannya,
belajar di jenjang S2 bisa menjadi kebutuhan dari dalam diri kita sendiri, bisa
juga merupakan tuntutan pekerjaan. Ini terlepas dari teman-teman yang memang
ingin memberikan waktu khususnya untuk menimba ilmu yang lebih banyak tanpa ada
dorongan dari mana pun.
2.
Sudah ada biaya/pembiayaan atau belum?
Pertimbangan
yang satu ini sudah pasti ada di benak teman-teman tanpa harus ada yang
mengingatkan. Orang tua pasti sudah banyak membiayai kita untuk sampai lulus di
S1. Dalam beberapa kasus, orang tua biasanya agak keberatan untuk membiayai
kuliah lanjutan anaknya. Sebagian besar dari mereka akan menyarankan anaknya
bekerja lebih dulu sebelum kemudian melanjutkan studi lagi. Oleh karena itu,
hal yang wajar jika untuk kuliah S2 kita perlu untuk lebih struggle lagi dalam hal biaya. Selain itu, di benak kita pun, pasti
juga ada keinginan untuk meringankan beban orang tua dengan bekerja dan
memberikan beberapa hasilnya kepada mereka. Lalu bagaimana kalau sudah merasa
sangat ingin segera S2 selepas lulus S1?
Pertanyaan ini agak sedikit sulit dijawab, tapi ada cara untuk
mempertimbangkan. Pertama, kita perlu menyadari dulu bahwa kadang ego kita
berlawanan dengan keadaan yang kita jalani. Kita ingin, tapi ada
batasan-batasan untuk melakukannya. Salah satunya tidak lain adalah biaya tersebut.
Untuk itu, yang harus kita lakukan adalah berpikir rasional dan tidak
memaksakan kehendak.
Kedua, kita pikirkan segala kemungkinan ketika kita langsung kuliah lagi
dan bekerja dulu. Kalau bekerja dulu, artinya kita akan bisa menyisihkan sebagian
gaji kita di samping memberikan beberapa kepada orang tua dan memenuhi
kebutuhan kita. Artinya, kuliah memang tertunda, tapi selama bekerja, kita
sedang on the road untuk nantinya bisa
membiayai kuliah dari hasil keringat sendiri. Segala kemungkinan seperti: “nanti
jadi malas belajar kalau sudah lama bekerja dan menerima gaji”, “nanti sudah
tua sudah sulit untuk berpikir dan semangat belajar”, “sudah berkeluarga nanti
akan sulit membagi waktu dengan belajar”, atau pemikiran-pemikiran serupa
lainnya sebaiknya disisihkan dulu. Di tempat saya belajar sekarang, saya
menemui banyak orang yang sudah bekerja bertahun-tahun tapi mereka rela menggantikan
sementara waktunya untuk mencari uang demi belajar. Ada juga yang sudah berumur
jauh dari paruh baya tapi masih semangat untuk lanjut belajar. Memang semuanya
memiliki alasan masing-masing, tapi terlepas dari itu, hikmah yang bisa
diperoleh adalah “jangan berpikir negatif terlebih dahulu akan apa yang akan
terjadi di masa depan”.
Di sisi lain, untuk kuliah terlebih dahulu, dalam banyak kasus, mungkin orang
akan menunda keinginan untuk bekerja terlebih dahulu. Sumber biayanya kemudian
hanya ada dari dua pilihan, yakni orang tua atau beasiswa. Jika orang tua sudah
menyanggupi untuk membiayai kuliah, maka sudah tidak ada masalah. Tapi jika
tidak, maka beasiswa harus dicari. Satu saran saya untuk para pencari beasiswa,
kuncinya harus berkomitmen menyediakan waktu untuk mempersiapkan diri dengan
baik. Untuk memperoleh beasiswa, banyak hal yang harus dipertimbangkan, misalnya
saja tes bahasa Inggris (TOEFL, IELTS, atau lainnya), menyiapkan esai, dan berbagai
syarat lainnya. Jika tidak bisa bersabar, maka hal-hal seperti resah karena
harus menunggu, iri dengan teman yang sudah bekerja, bosan, dan lain-lain akan muncul.
Jadi, jika memang perlu untuk memperoleh beasiswa, maka kuncinya harus bersabar
dan tidak mudah ambil hati dengan kata orang. People don’t know about what we do. Jika memang dirasa sulit, maka
teman-teman sebaiknya bekerja lebih dulu dan mempersiapkannya sambil bekerja.
Saya juga menemukan beberapa teman yang demikian, tetapi tentu untuk demikian, benar-benar
dibutuhkan keseriusan dan semangat yang tinggi.
Kembali lagi, jika biaya memang sebuah alasan penting dan teman-teman memang
belum memiliki cukup untuk membiayai studi hingga akhir, sebaiknya teman-teman bersabar
dahulu dan mencoba mencari pendanaan, baik secara swadaya atau beasiswa. Saya
yakin, jika memang kemauan sudah sangat kuat, pasti ada saja jalan yang bisa diperoleh.
3.
Sudah dengan matang memilih jurusan S2 atau
belum?
Pengalaman yang saya dapatkan, ada dua jenis
S2, yakni yang menekankan pengembangan keilmuan dan yang bersifat praktis.
Dalam bidang Akuntansi misalnya, ada Magister Sains Akuntansi bagi mereka yang
ingin belajar banyak tentang perkembangan ilmu pengetahuan Akuntansi, ada juga
Magister Akuntansi untuk yang ingin belajar tentang praktik-praktik di
lingkungan Akuntansi. Singkatnya, keduanya akan memiliki penekanan yang berbeda.
Saya sebagai mahasiswa Magister Sains, lebih banyak bergelut dengan artikel
jurnal. Mengapa begitu? Karena memang dengan membaca artikel jurnal dan juga
buku teks kita bisa memahami bagaimana ilmu Akuntansi selalu berkembang. Dalam satu
minggu, saya bisa memperoleh tugas untuk membahas minimal 8 artikel jurnal yang
semuanya berbahasa Inggris. Hal ini tentu berbeda dengan mahasiswa Magister
Akuntansi. Tugas yang diperolehnya lebih banyak berkenaan dengan case study dan fenomena-fenomena dalam
profesi Akuntansi. Untuk itu, banyak skill
praktik yang menjadi kebutuhan di sana.
Bagaimana dengan tingkat
kesulitannya? Mana yang lebih sulit? Jawabannya kembali pada teman-teman, di
mana passion dan kebutuhan teman-teman
berada, di situlah teman-teman akan lebih nyaman dan menikmati prosesnya. Terlepas
dari kesulitannya, kalau memang sudah suka, segala badai pasti dihadang. Kalau
saya sendiri, saya lebih menyukai pengembangan keilmuan. Itulah mengapa saya
mengambil program Magister Sains Akuntansi.
4.
Sudah memahami bagaimana kuliah S2 atau belum?
Sudah hal biasa
bagi kita untuk memperoleh gambaran terlebih dahulu akan sesuatu sebelum melakukan
atau merasakannya sendiri. Begitu juga dengan kuliah. Rasanya pasti akan kurang
afdal kalau belum tahu dulu bagaimana kira-kira kehidupan sehari-harinya nanti.
Minimal kita pasti bertanya-tanya kepada teman, kakak tingkat, atau siapapun
yang sedang atau telah menjalani S2. Apa yang kita cari? Tentunya untuk
mengukur apakah kita sudah siap dan mampu menjalani komitmen belajar lagi.
Ada beberapa yang mengatakan bahwa kuliah S2 itu lebih santai dibanding
kuliah S1. Tapi menurut saya, not really.
Mungkin benar ada istilah santai, yaitu dalam proses belajarnya, kita diberikan
kebebasan untuk berpendapat, bertanya, berdiskusi, dan sebagainya. Tapi santai
untuk tugasnya? Saya rasa tidak. Justru dengan kita berada di jenjang yang
lebih tinggi, tugas yang diberikan tidak lagi yang sifatnya balance atau tidak neraca kita (kalau
teman-teman di Akuntansi), tapi yang lebih membutuhkan penalaran untuk menjawab
“mengapa demikian?”. Bukan lagi yang sifatnya normatif dan deskriptif, tapi
juga eksplanatif, prediktif, dan eksploratif.
Sedikit berbagi yang saya alami selama kuliah, kalau di S1, buku teks
materi yang halamannya 300-400 halaman bahasa Indonesia atau Inggris bisa saja
menjadi bahan untuk satu semester. Itu pun terkadang ada bab-bab yang tidak
dimasukkan ke dalam pembahasan berdasarkan silabus. Bagaimana dengan S2? Buku
500-700 halaman dijadikan bahan kuliah selama setengah semester. Pembahasan di
kelas tidak dilakukan secara detail per subbab, tapi berupa diskusi untuk
menguji pemahaman kita akan materi yang dijadwalkan untuk setiap pertemuan. Kapan
membaca sekian halaman tersebut? Ketika di rumah, sebelum kuliah berlangsung.
Masuk kuliah tanpa membaca terlebih dahulu bisa dibilang ‘sangat terlarang’. Dengan
begitu, harapannya di kelas, mahasiswa bisa lebih aktif dalam menyampaikan
hasil yang dipelajari.
5.
Bisa sambil bekerja atau tidak?
Bisa tidaknya
belajar sambil bekerja sangat sulit ditentukan jika tidak sambil menjalaninya
sendiri. Ini karena ada beberapa jurusan dan perguruan tinggi yang memungkinkan
untuk demikian, ada juga yang tidak. Itulah mengapa orang-orang yang bekerja,
untuk kuliah biasanya meminta surat izin belajar kepada atasan terlebih dahulu,
atau terpaksa memilih resign dari
tempat kerja. Waktu kuliah yang tidak penuh satu minggu dibanding saat S1 bukan
berarti tidak ada batasan untuk orang sambil bekerja. Namun untuk bisa
berkonsentrasi penuh dan memaksimalkan kesempatan belajar yang ada, sebaiknya
teman-teman mempertimbangkan kembali keputusan untuk belajar dengan tetap
bekerja. Bukan tidak mungkin, tetapi sangat sulit untuk memaksimalkan keduanya
dalam waktu bersamaan. Tanpa disadari, pasti ada bagian-bagian yang perlu dikorbankan
dalam waktu tertentu. Perlu dipertimbangkan juga bahwa masa studi maksimal S2
saat ini adalah 3 tahun.
Namun sekali lagi, beberapa jurusan dan kebijakan beberapa perguruan
tinggi masih memungkinkan untuk belajar sambil bekerja. Jadi pilihan tempat
studi pun sangat menentukan. Saran saya, jika memang teman-teman ingin belajar
sambil bekerja, teman-teman mencari informasi dulu dengan relasi mengenai
pendapat mereka yang sudah mengalaminya. Jika memang sangat diperlukan melakukan
keduanya bersama, teman-teman bisa memilih kelas eksekutif yang biasanya
dilaksanakan pada akhir pekan. Memang mungkin cukup sulit untuk mengikuti perkuliahan
dengan durasi yang sangat lama selama dua hari (di akhir pekan lagi). Akan
tetapi dengan demikian, teman-teman memiliki peluang agar keduanya sama-sama
berjalan.
Pertimbangan ini terlepas dari pilihan tempat studi di luar negeri. Karena
mau tidak mau, untuk belajar di luar negeri, teman-teman harus berhenti bekerja
sementara waktu dulu.
6.
Orang tua mendukung atau tidak?
Jika biaya sudah
bisa menyediakan sendiri dan teman-teman sudah siap dengan segala komitmen yang
harus dipegang, selanjutnya yang penting adalah meminta dukungan dari orang
tua. Menjalani S2 sebagian besar menjadi trade
off bagi kita, yakni umumnya tidak bisa sambil bekerja. Karenanya, bagi
beberapa orang, ketika sudah memilih untuk S2, yang harus ditunda adalah
memberikan sebagian hasil kerja kepada orang tua. Orang tua kadang perlu diberikan
pengertian terlebih dulu agar bisa memahami tujuan kita mengambil S2. Jika mereka
sudah memberikan dukungan, inshaAllah
upaya menimba ilmu kita akan lebih dilancarkan lagi. Aamiin.
Satu lagi,
jika teman-teman sudah memiliki istri atau suami, izin dari mereka juga sangat
diperlukan. Termasuk untuk yang sudah terlihat hilalnya untuk menikah, πizin pasangan
juga dibutuhkan. Kalau mereka kurang mendukung, siapa lagi yang jadi pelipur
hati di saat asamnya mulai terasa? ππ
Semua saran di post ini murni
dari apa yang saya pikirkan, dan menurut saya adalah cara mempertimbangkan keputusan
S2 yang bijak. Tentunya, saya tidak memaksakan pendapat saya ini kepada
teman-teman. Semuanya boleh berpendapat dan memiliki pemikiran sendiri yang
mungkin sangat berbeda dengan saya. Yang terpenting, teman-teman sudah bisa
memutuskan untuk melanjutkan S2 atau tidak. Semangat, teman-teman!
Kak maaf mau nnya lagi saya udah nanya di postingnya sebelumnya . Jadi menurut kakak sebaiknya saya ambil S2 Maksi dahulu apa Ppak dahulu?
BalasHapusMenurut hasil diskusi sy dg yang sudah menjalani, tujuan seseorang mengambil PPAk biasanya utk menambah ilmu dalam bidang praktik, sama halnya dg Maksi. Bedanya kalau PPAk sifatnya lebih umum ke semua praktik. Kalau sdh lulus, akan dapat gelar Ak, CA. Tapi skrg, utk mendapat gelar CA itu sendiri bisa diperoleh tanpa harus menempuh PPAk, yaitu melalui ujian CA. Singkatnya, kalau mau memperoleh gelar CA bisa tanpa melalui PPAk. Sedangkan kalau Maksi, pendidikan praktiknya lbh berfokus pada konsentrasi yang diminati dan jika lulus akan memperoleh gelar M.Ak atau gelar alias lainnya. Kalau menurut saya, kembali ke kebutuhan pendidikannya, utk belajar praktik secara umum atau yg lebih berfokus. Kalau saya prefer mengambil Maksi dan ujian CA.
BalasHapusSaya sebenrnya ingin mengambil CPA kak .
HapusTapi saya nanya ke beberapa kampus yang menyelenggarakan Ppak katanya gelar ak. Nya (lokal) maksudny apa ya kak? Tx
Luffi sangat bermanfaat tiba2 stalking dan nemu ini. Aku pingin jd dosen. Tp masih tkut. �� tlong motivasinya
BalasHapusMotivasinya dengan memulai niat bahwa kalau menjadi dosen nanti bisa mendapatkan tempat untuk berbagi dengan orang lain. Semangatnya adalah semangat mengabdi.
HapusKeren banget yaaa... Sepertinya masih muda..... Masih muda sudah s2 Masha Allah.... Semoga aku seperti itu
BalasHapusAamiin semoga kakak sukses dan diberikan kelancaran untuk semua niat baiknya.
HapusMasyaallah, keren banget Kak Lufi! :))
BalasHapusTerima kasih sudah mampir di blog ini kak :)
Hapus