Sabtu, 05 Mei 2018

Lanjut S2 atau Bekerja? 6 Hal yang Wajib Dipertimbangkan

Pada saat menulis ini, saya akan memasuki semester 3 pendidikan master, jadi bisa dibilang sudah banyak menikmati asam manisnya studi di jenjang ini. Jurusan yang saya tekuni masih tetap Akuntansi, sama seperti selama 7 tahun yang telah berlalu. Setahun setelah lulus S1, tepatnya pada tahun 2016 lalu, saya mendaftar di Magister Sains Akuntansi Universitas Gadjah Mada dengan didanai beasiswa LPDP. Buat pengalaman lengkapnya ikut beasiswa ini, teman-teman bisa cek di post-post sebelumnya.

Mengapa saya melanjutkan S2? Karena saya ingin menjadi dosen. Seperti yang kita ketahui bahwa salah satu syarat menjadi dosen saat ini adalah pendidikan minimal S2. Tapi di samping itu, keputusan untuk menjalani pendidikan yang lebih seru ini juga karena saya ingin tahu lebih banyak tentang Akuntansi.

Sumber: http://conejovalleytutor.com
Sekarang ini, sudah tidak terhitung berapa jumlah pemuda di Indonesia yang menempuh pendidikan master, baik karena ingin menjadi dosen seperti saya, maupun karena kebutuhan pekerjaan yang sudah dijalani. Tidak dapat dipungkiri, memang terjadi peningkatan kualifikasi di beberapa jenis pekerjaan sehingga menuntut seseorang untuk menempuh studi master.

Bagi teman-teman yang akan atau baru saja menjadi fresh graduate, mungkin sebagian akan merasa dipusingkan dengan apakah sebaiknya langsung bekerja atau melanjutkan studi ke tingkat master. Sepertinya tidak hanya yang fresh graduate, yang saat ini sedang bekerja pun, pertimbangan ini mungkin juga muncul meskipun hanya sekilas. Saya yakin, kadang keinginan untuk bekerja juga dibarengi dengan keinginan untuk studi. Tapi apakah sebenarnya urgensi dari menempuh studi master?

Okay, let me share my idea.


Setiap mengambil keputusan biasanya saya berpikir dulu, apa dan mengapa harus begitu. Hidup hanya sekali dan pastinya harus dikurangi saja melakukan sesuatu yang kurang bermanfaat. Tapi yang pasti, tidak ada yang salah dengan menuntut ilmu, termasuk dengan menjalani S2, karena belajar dan berbagi ilmu adalah salah satu dari amal yang tak terputus pahalanya. Jadi, mengambil S2 sudah pasti keputusan yang tidak salah. Yang perlu kita masing-masing pahami sekali lagi adalah urgensinya untuk kita saat ini.

Ada beberapa hal yang menurut saya penting untuk dipertimbangkan terkait perlu tidaknya segera mengambil pendidikan master. Semoga bermanfaat ya.

1.      Diperlukan untuk bekerja atau tidak?
Pertimbangan ini tentunya adalah pertimbangan yang paling basic bagi kita semua. Sama halnya dengan perlu makan atau tidak yang bergantung pada apakah kita sedang lapar. Intinya, mengambil S2 atau tidak bergantung pada apa yang menjadi pekerjaan impian kita. Seperti yang saya alami, saya mengambil S2 karena keinginan saya menjadi dosen. Di luar karena persyaratan wajibnya, tanpa pendidikan S2 saya rasa pengetahuan dari S1 belum cukup untuk mengantarkan menjadi dosen. Beberapa bidang pekerjaan lainnya tentunya ada juga yang memerlukan pendidikan S2 dan ada juga yang tidak. Singkatnya, teman-teman akan cenderung mengambil S2 jika pekerjaan yang diinginkan memang mengharuskan demikian, baik secara langsung maupun tidak.
Bagi banyak orang, bisa saja pekerjaan menjadi alasan untuk malas belajar lagi. Bisa jadi karena sudah menerima hasil jerih payah dan merasa tidak perlu lagi menempuh pendidikan lanjutan. Tapi ada beberapa pekerjaan yang justru akan memberikan dorongan bagi karyawannya untuk melanjutkan studi. Beberapa pekerjaan swasta memberikan insentif bagi mereka yang memiliki pendidikan lebih tinggi. Terlebih untuk yang bekerja di pemerintahan atau BUMN, biasanya melanjutkan studi sangat disarankan, bahkan menjadi tugas yang harus dijalani. Kesimpulannya, belajar di jenjang S2 bisa menjadi kebutuhan dari dalam diri kita sendiri, bisa juga merupakan tuntutan pekerjaan. Ini terlepas dari teman-teman yang memang ingin memberikan waktu khususnya untuk menimba ilmu yang lebih banyak tanpa ada dorongan dari mana pun.

2.      Sudah ada biaya/pembiayaan atau belum?
Pertimbangan yang satu ini sudah pasti ada di benak teman-teman tanpa harus ada yang mengingatkan. Orang tua pasti sudah banyak membiayai kita untuk sampai lulus di S1. Dalam beberapa kasus, orang tua biasanya agak keberatan untuk membiayai kuliah lanjutan anaknya. Sebagian besar dari mereka akan menyarankan anaknya bekerja lebih dulu sebelum kemudian melanjutkan studi lagi. Oleh karena itu, hal yang wajar jika untuk kuliah S2 kita perlu untuk lebih struggle lagi dalam hal biaya. Selain itu, di benak kita pun, pasti juga ada keinginan untuk meringankan beban orang tua dengan bekerja dan memberikan beberapa hasilnya kepada mereka. Lalu bagaimana kalau sudah merasa sangat ingin segera S2 selepas lulus S1?
Pertanyaan ini agak sedikit sulit dijawab, tapi ada cara untuk mempertimbangkan. Pertama, kita perlu menyadari dulu bahwa kadang ego kita berlawanan dengan keadaan yang kita jalani. Kita ingin, tapi ada batasan-batasan untuk melakukannya. Salah satunya tidak lain adalah biaya tersebut. Untuk itu, yang harus kita lakukan adalah berpikir rasional dan tidak memaksakan kehendak.
Kedua, kita pikirkan segala kemungkinan ketika kita langsung kuliah lagi dan bekerja dulu. Kalau bekerja dulu, artinya kita akan bisa menyisihkan sebagian gaji kita di samping memberikan beberapa kepada orang tua dan memenuhi kebutuhan kita. Artinya, kuliah memang tertunda, tapi selama bekerja, kita sedang on the road untuk nantinya bisa membiayai kuliah dari hasil keringat sendiri. Segala kemungkinan seperti: “nanti jadi malas belajar kalau sudah lama bekerja dan menerima gaji”, “nanti sudah tua sudah sulit untuk berpikir dan semangat belajar”, “sudah berkeluarga nanti akan sulit membagi waktu dengan belajar”, atau pemikiran-pemikiran serupa lainnya sebaiknya disisihkan dulu. Di tempat saya belajar sekarang, saya menemui banyak orang yang sudah bekerja bertahun-tahun tapi mereka rela menggantikan sementara waktunya untuk mencari uang demi belajar. Ada juga yang sudah berumur jauh dari paruh baya tapi masih semangat untuk lanjut belajar. Memang semuanya memiliki alasan masing-masing, tapi terlepas dari itu, hikmah yang bisa diperoleh adalah “jangan berpikir negatif terlebih dahulu akan apa yang akan terjadi di masa depan”.
Di sisi lain, untuk kuliah terlebih dahulu, dalam banyak kasus, mungkin orang akan menunda keinginan untuk bekerja terlebih dahulu. Sumber biayanya kemudian hanya ada dari dua pilihan, yakni orang tua atau beasiswa. Jika orang tua sudah menyanggupi untuk membiayai kuliah, maka sudah tidak ada masalah. Tapi jika tidak, maka beasiswa harus dicari. Satu saran saya untuk para pencari beasiswa, kuncinya harus berkomitmen menyediakan waktu untuk mempersiapkan diri dengan baik. Untuk memperoleh beasiswa, banyak hal yang harus dipertimbangkan, misalnya saja tes bahasa Inggris (TOEFL, IELTS, atau lainnya), menyiapkan esai, dan berbagai syarat lainnya. Jika tidak bisa bersabar, maka hal-hal seperti resah karena harus menunggu, iri dengan teman yang sudah bekerja, bosan, dan lain-lain akan muncul. Jadi, jika memang perlu untuk memperoleh beasiswa, maka kuncinya harus bersabar dan tidak mudah ambil hati dengan kata orang. People don’t know about what we do. Jika memang dirasa sulit, maka teman-teman sebaiknya bekerja lebih dulu dan mempersiapkannya sambil bekerja. Saya juga menemukan beberapa teman yang demikian, tetapi tentu untuk demikian, benar-benar dibutuhkan keseriusan dan semangat yang tinggi.
Kembali lagi, jika biaya memang sebuah alasan penting dan teman-teman memang belum memiliki cukup untuk membiayai studi hingga akhir, sebaiknya teman-teman bersabar dahulu dan mencoba mencari pendanaan, baik secara swadaya atau beasiswa. Saya yakin, jika memang kemauan sudah sangat kuat, pasti ada saja jalan yang bisa diperoleh.

3.      Sudah dengan matang memilih jurusan S2 atau belum?
Pengalaman yang saya dapatkan, ada dua jenis S2, yakni yang menekankan pengembangan keilmuan dan yang bersifat praktis. Dalam bidang Akuntansi misalnya, ada Magister Sains Akuntansi bagi mereka yang ingin belajar banyak tentang perkembangan ilmu pengetahuan Akuntansi, ada juga Magister Akuntansi untuk yang ingin belajar tentang praktik-praktik di lingkungan Akuntansi. Singkatnya, keduanya akan memiliki penekanan yang berbeda. Saya sebagai mahasiswa Magister Sains, lebih banyak bergelut dengan artikel jurnal. Mengapa begitu? Karena memang dengan membaca artikel jurnal dan juga buku teks kita bisa memahami bagaimana ilmu Akuntansi selalu berkembang. Dalam satu minggu, saya bisa memperoleh tugas untuk membahas minimal 8 artikel jurnal yang semuanya berbahasa Inggris. Hal ini tentu berbeda dengan mahasiswa Magister Akuntansi. Tugas yang diperolehnya lebih banyak berkenaan dengan case study dan fenomena-fenomena dalam profesi Akuntansi. Untuk itu, banyak skill praktik yang menjadi kebutuhan di sana.
Bagaimana dengan tingkat kesulitannya? Mana yang lebih sulit? Jawabannya kembali pada teman-teman, di mana passion dan kebutuhan teman-teman berada, di situlah teman-teman akan lebih nyaman dan menikmati prosesnya. Terlepas dari kesulitannya, kalau memang sudah suka, segala badai pasti dihadang. Kalau saya sendiri, saya lebih menyukai pengembangan keilmuan. Itulah mengapa saya mengambil program Magister Sains Akuntansi.

4.      Sudah memahami bagaimana kuliah S2 atau belum?
Sudah hal biasa bagi kita untuk memperoleh gambaran terlebih dahulu akan sesuatu sebelum melakukan atau merasakannya sendiri. Begitu juga dengan kuliah. Rasanya pasti akan kurang afdal kalau belum tahu dulu bagaimana kira-kira kehidupan sehari-harinya nanti. Minimal kita pasti bertanya-tanya kepada teman, kakak tingkat, atau siapapun yang sedang atau telah menjalani S2. Apa yang kita cari? Tentunya untuk mengukur apakah kita sudah siap dan mampu menjalani komitmen belajar lagi.
Ada beberapa yang mengatakan bahwa kuliah S2 itu lebih santai dibanding kuliah S1. Tapi menurut saya, not really. Mungkin benar ada istilah santai, yaitu dalam proses belajarnya, kita diberikan kebebasan untuk berpendapat, bertanya, berdiskusi, dan sebagainya. Tapi santai untuk tugasnya? Saya rasa tidak. Justru dengan kita berada di jenjang yang lebih tinggi, tugas yang diberikan tidak lagi yang sifatnya balance atau tidak neraca kita (kalau teman-teman di Akuntansi), tapi yang lebih membutuhkan penalaran untuk menjawab “mengapa demikian?”. Bukan lagi yang sifatnya normatif dan deskriptif, tapi juga eksplanatif, prediktif, dan eksploratif.
Sedikit berbagi yang saya alami selama kuliah, kalau di S1, buku teks materi yang halamannya 300-400 halaman bahasa Indonesia atau Inggris bisa saja menjadi bahan untuk satu semester. Itu pun terkadang ada bab-bab yang tidak dimasukkan ke dalam pembahasan berdasarkan silabus. Bagaimana dengan S2? Buku 500-700 halaman dijadikan bahan kuliah selama setengah semester. Pembahasan di kelas tidak dilakukan secara detail per subbab, tapi berupa diskusi untuk menguji pemahaman kita akan materi yang dijadwalkan untuk setiap pertemuan. Kapan membaca sekian halaman tersebut? Ketika di rumah, sebelum kuliah berlangsung. Masuk kuliah tanpa membaca terlebih dahulu bisa dibilang ‘sangat terlarang’. Dengan begitu, harapannya di kelas, mahasiswa bisa lebih aktif dalam menyampaikan hasil yang dipelajari.

5.      Bisa sambil bekerja atau tidak?
Bisa tidaknya belajar sambil bekerja sangat sulit ditentukan jika tidak sambil menjalaninya sendiri. Ini karena ada beberapa jurusan dan perguruan tinggi yang memungkinkan untuk demikian, ada juga yang tidak. Itulah mengapa orang-orang yang bekerja, untuk kuliah biasanya meminta surat izin belajar kepada atasan terlebih dahulu, atau terpaksa memilih resign dari tempat kerja. Waktu kuliah yang tidak penuh satu minggu dibanding saat S1 bukan berarti tidak ada batasan untuk orang sambil bekerja. Namun untuk bisa berkonsentrasi penuh dan memaksimalkan kesempatan belajar yang ada, sebaiknya teman-teman mempertimbangkan kembali keputusan untuk belajar dengan tetap bekerja. Bukan tidak mungkin, tetapi sangat sulit untuk memaksimalkan keduanya dalam waktu bersamaan. Tanpa disadari, pasti ada bagian-bagian yang perlu dikorbankan dalam waktu tertentu. Perlu dipertimbangkan juga bahwa masa studi maksimal S2 saat ini adalah 3 tahun.
Namun sekali lagi, beberapa jurusan dan kebijakan beberapa perguruan tinggi masih memungkinkan untuk belajar sambil bekerja. Jadi pilihan tempat studi pun sangat menentukan. Saran saya, jika memang teman-teman ingin belajar sambil bekerja, teman-teman mencari informasi dulu dengan relasi mengenai pendapat mereka yang sudah mengalaminya. Jika memang sangat diperlukan melakukan keduanya bersama, teman-teman bisa memilih kelas eksekutif yang biasanya dilaksanakan pada akhir pekan. Memang mungkin cukup sulit untuk mengikuti perkuliahan dengan durasi yang sangat lama selama dua hari (di akhir pekan lagi). Akan tetapi dengan demikian, teman-teman memiliki peluang agar keduanya sama-sama berjalan.
Pertimbangan ini terlepas dari pilihan tempat studi di luar negeri. Karena mau tidak mau, untuk belajar di luar negeri, teman-teman harus berhenti bekerja sementara waktu dulu.

6.      Orang tua mendukung atau tidak?
Jika biaya sudah bisa menyediakan sendiri dan teman-teman sudah siap dengan segala komitmen yang harus dipegang, selanjutnya yang penting adalah meminta dukungan dari orang tua. Menjalani S2 sebagian besar menjadi trade off bagi kita, yakni umumnya tidak bisa sambil bekerja. Karenanya, bagi beberapa orang, ketika sudah memilih untuk S2, yang harus ditunda adalah memberikan sebagian hasil kerja kepada orang tua. Orang tua kadang perlu diberikan pengertian terlebih dulu agar bisa memahami tujuan kita mengambil S2. Jika mereka sudah memberikan dukungan, inshaAllah upaya menimba ilmu kita akan lebih dilancarkan lagi. Aamiin.
Satu lagi, jika teman-teman sudah memiliki istri atau suami, izin dari mereka juga sangat diperlukan. Termasuk untuk yang sudah terlihat hilalnya untuk menikah, πŸ˜ƒizin pasangan juga dibutuhkan. Kalau mereka kurang mendukung, siapa lagi yang jadi pelipur hati di saat asamnya mulai terasa? πŸ‘€πŸ˜‚

Semua saran di post ini murni dari apa yang saya pikirkan, dan menurut saya adalah cara mempertimbangkan keputusan S2 yang bijak. Tentunya, saya tidak memaksakan pendapat saya ini kepada teman-teman. Semuanya boleh berpendapat dan memiliki pemikiran sendiri yang mungkin sangat berbeda dengan saya. Yang terpenting, teman-teman sudah bisa memutuskan untuk melanjutkan S2 atau tidak. Semangat, teman-teman!

9 komentar:

  1. Kak maaf mau nnya lagi saya udah nanya di postingnya sebelumnya . Jadi menurut kakak sebaiknya saya ambil S2 Maksi dahulu apa Ppak dahulu?

    BalasHapus
  2. Menurut hasil diskusi sy dg yang sudah menjalani, tujuan seseorang mengambil PPAk biasanya utk menambah ilmu dalam bidang praktik, sama halnya dg Maksi. Bedanya kalau PPAk sifatnya lebih umum ke semua praktik. Kalau sdh lulus, akan dapat gelar Ak, CA. Tapi skrg, utk mendapat gelar CA itu sendiri bisa diperoleh tanpa harus menempuh PPAk, yaitu melalui ujian CA. Singkatnya, kalau mau memperoleh gelar CA bisa tanpa melalui PPAk. Sedangkan kalau Maksi, pendidikan praktiknya lbh berfokus pada konsentrasi yang diminati dan jika lulus akan memperoleh gelar M.Ak atau gelar alias lainnya. Kalau menurut saya, kembali ke kebutuhan pendidikannya, utk belajar praktik secara umum atau yg lebih berfokus. Kalau saya prefer mengambil Maksi dan ujian CA.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Saya sebenrnya ingin mengambil CPA kak .

      Tapi saya nanya ke beberapa kampus yang menyelenggarakan Ppak katanya gelar ak. Nya (lokal) maksudny apa ya kak? Tx

      Hapus
  3. Luffi sangat bermanfaat tiba2 stalking dan nemu ini. Aku pingin jd dosen. Tp masih tkut. �� tlong motivasinya

    BalasHapus
    Balasan
    1. Motivasinya dengan memulai niat bahwa kalau menjadi dosen nanti bisa mendapatkan tempat untuk berbagi dengan orang lain. Semangatnya adalah semangat mengabdi.

      Hapus
  4. Keren banget yaaa... Sepertinya masih muda..... Masih muda sudah s2 Masha Allah.... Semoga aku seperti itu

    BalasHapus
    Balasan
    1. Aamiin semoga kakak sukses dan diberikan kelancaran untuk semua niat baiknya.

      Hapus
  5. Masyaallah, keren banget Kak Lufi! :))

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terima kasih sudah mampir di blog ini kak :)

      Hapus